A. Pengantar
It begins with paradox! Kalimat tersebut pernah diucapkan oleh Peter Pearse, seorang ekonom dari Kanada, sebagaimana dikutip Fauzi (2005). Itu terjadi ketika ia melihat kenyataan pahit bahwa nelayan di Pantai Timur Kanada terbelenggu kemiskinan di tengah melimpahnya sumberdaya perikanan di wilayah tersebut. Kenyataan yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada Rakernas Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2005 di Jakarta, sebagaimanan ditulis pada situs resmi Departemen Kelautan dan Perikanan (www.dkp.go.id) terungkap bahwa dari 47 juta jiwa penduduk miskin (atau 24% dari total penduduk) Indonesia, 60 persennya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir.
Padahal, menurut Dahuri et al (1996), wilayah pesisir dan laut Indonesia kaya akan sumberdaya dan keanekaragaman alamnya. Paling tidak fakta fisik Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan keanekaraman hayatinya. Yakni sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 buah pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial; dan 2,8 juta km2 perairan nusantara) atau sebesar 62 persen dari luas teritorial Indonesia (Dahuri et al, 1996; Budiharsono, 2001). Pada wilayah ini tersimpan potensi besar yang dapat dikembangkan dalam rangka mendorong perekonomian masyarakat.
Sebenarnya, menurut Dahuri et al. (1996), pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang mendua, atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan dengan intensif. Bahkan terindikasi melampaui daya dukung atau kapasitas berkelanjutan, seperti tangkap lebih (overfishing), degradasi habitat pesisir, abrasi pantai. Di pihak lain, masih banyak kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatannya belum optimal, atau bahkan belum terjamah sama sekali.
Menurut Suhana (2006) permasalahan overfishing terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap karakteristik sumber daya ikan. Sumber daya ikan (SDI) merupakan sumber daya yang bersifat renewable. Namun, kalau tidak dikelola secara baik dan benar, sumber daya tersebut dapat mengalami kepunahan. Artinya bahwa apabila dieksploitasi terus-menerus, sumber daya ikan dapat berkurang bahkan punah sehingga generasi mendatang tidak dapat menikmati sumber daya ikan seperti halnya kita sekarang.
Kebutuhan akan ikan penduduk Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 10,5 juta ton atau hampir dua kali lipat potensi lestari stok ikan laut Indonesia (Cholik et.al., 2005). Dalam Warta Pasar Ikan (2006) ditulis bahwa meskipun saat ini sumbangan ikan hasil tangkapan masih relatif tinggi, tetapi hasil penangkapan telah berada pada level yang jenuh dan diperkirakan akan begitu seterusnya. Untuk memenuhi kebutuhan ikan sebagaimana tingkat konsumsi seperti saat ini di tahun 2030, diperlukan sekitar 40 juta ton dari hasil budidaya.
Kondisi overfishing di Perairan Indonesia relatif sama dengan kondisi sumber daya ikan di perairan dunia. Data menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di dua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu WPP I (Selat Malaka) dan WPP III (Laut Jawa) lebih dari 100%. Pemerintah telah melihat kondisi tersebut sebagai ancaman bagi keberlanjutan sumber daya ikan saat ini dan masa yang akan datang. (Suhana, 2006).
B. Tujugan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengelaborasi beberapa dampak subsisdi perikanan terhadap status stok sumberdaya ikan dibawah pengaruh rezim manajemen efektif, catcth control dan open access.
C. Subsidi Perikanan
Adalah ironis, ketika kekayaan sumberdaya alam di laut yang demikian besar pada kenyataannya belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat nelayan Indonesia. Tidak itu saja, jumlah nelayan di negeri bahari ini terus menurun, misalnya data statistik Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa jumlah nelayan pada tahun 2003 tercatat 3,85 juta nelayan dan pada tahun 2007 berkurang menjadi 2,66 juta.
Menurunnya jumlah nelayan Indonesia ini memiliki korelasi dengan data FAO 2007 yang menyebutkan bahwa produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan 4,55 persen. Bahkan nilai ekspor perikanan hanya mencapai 2 miliar dollar AS, jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekspor Vietnam dan Thailand yang mencapai 3,40 miliar dollar AS dan 5,20 miliar dollar AS.
Hasil riset Komisi Stok Ikan Nasional (1999) memperkirakan bahwa potensi sumberdaya ikan nasional sebesar 6,4 juta ton per tahun. Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya ikan ini tidak serta merta tanpa persoalan. Dewasa ini, besarnya potensi yang ada belum diimbangi dengan pemanfaatan optimal dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Isu-isu kemiskinan nelayan, misalnya, telah menjadi isu struktural sejak lama bagi pengelolaan sumberdaya ikan. Pada saat yang sama, isu-isu rusaknya sumberdaya alam pun telah lama diketahui, misalnya gejala overexploited di perairan dunia, termasuk Indonesia.
Pada tanggal 15 Mei 2003, jurnal Nature melaporkan bahwa semua spesies ikan laut yang berukuran besar telah ditangkap berlebihan (overexploited) secara sistematis hingga jumlahnya kurang dari 10% jumlah yang ada pada tahun 1950. Penulis artikel pada jurnal tersebut menyarankan pengurangan penangkapan ikan secara drastis dan reservasi habitat laut di seluruh dunia. Bahkan Grainger (2005) menyatakan bahwa kondisi sumberdaya ikan dunia telah mengalami fully exploited sebesar 52 %. Data FAO terbaru juga menyebutkan bahwa diantara 441 spesies ikan di dunia 3% tergolong underexploited, 20% moderately exploited, 52% fully exploited, 17% overexploited, 7% depleted, dan 1% recovering. Artinya hanya 23% saja yang masih layak ditingkatkan eksploitasinya.
Kondisi Indonesia yang menunjukkan bahwa jumlah nelayan semakin menurun, penurunan produksi perikanan, masih belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya perikanan, masih miskinnya masyarakat nelayan, maka untuk membalikkan itu semua dibutuhkan rangsangan berupa subsidi dari pemerintah sehingga dapat membalikkan fakta-fakta tersebut.
Ada beberapa macam tipe subsidi perikanan yang umumnya dipraktikkan, seperti menurut APEC (2003): (a) direct financial assistance (seperti untuk pembelian kapal, alat tangkap, modal usaha, penjaminan kredit), (b) program preferensi pajak dan asuransi, (c) pengembangan infrastruktur (misalnya pelabuhan), (d) subsidi harga dan pemasaran, (e) serta subsidi program konservasi dan pengelolaan sumber daya.
FAO sendiri telah menerbitkan hasil riset tentang subsidi perikanan yang ditulis Anne Tallontire (2004) berdasarkan laporan APEC, WTO, OECD, WWF, dan beberapa ilmuwan. Berdasarkan laporan APEC (2000), nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 miliar dollar AS dan mencakup 70 persen negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 miliar dollar AS untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing- masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 miliar dollar AS.
Hasil-hasil studi umumnya masih merupakan temuan dari kasus di negara-negara maju. Karena, memang selama ini negara-negara maju pun belum mampu melepaskan subsidi tersebut. Di Eropa, misalnya, adanya fisheries access agreement antara Uni Eropa dengan negara- negara ACP (African Caribbean and Pacific) yang tak mampu memanfaatkan potensi sumber daya ikannya di wilayah ZEE mereka, juga dianggap sebagai bentuk subsidi. Karena, ternyata biaya kompensasi atau access fee kepada ACP dilakukan antarpemerintah dan tidak melibatkan industri perikanan. Begitu pula Treaty on Fisheries antara Amerika Serikat dan negara-negara pulau di Pasifik Selatan. Dari pola perjanjian ini, access fee yang diterima Kiribati sekitar 42,81 persen dari GDP.
Jadi, negara sedang berkembang di Pasifik Selatan beruntung dengan adanya subsidi Pemerintah AS kepada industri perikanannya yang beroperasi di wilayah ZEE di Pasifik Selatan. Dampak positif lainnya antara lain berkembangnya industri pengolahan, lapangan kerja menjadi kru di kapal asing, dan sebagainya. Apalagi perjanjian itu disertai dengan program bantuan pembangunan. Negatifnya juga banyak, seperti menurunnya stok ikan dan jumlah spesies, dominasi kapal asing, dan sebagainya. Namun, kini ketika isu subsidi merebak khususnya setelah berbagai perundingan internasional, Kiribati terancam kehilangan pemasukannya dari access fee karena model perjanjian itu akan dianggap sebagai bentuk subsidi.
Selain soal access fee itu, negara maju pun dituduh melakukan subsidi ketika menjalankan buyback program, yang tergolong subsidi konservasi. Program ini berupa pembelian kembali kapal-kapal oleh pemerintah terhadap perusahaan perikanan dalam rangka mengurangi kapasitas penangkapan.
Bahkan Munro dan Sumaila (2005) memprediksi sekitar 2,5 miliar dollar AS per tahun dikeluarkan pemerintah di Atlantik Utara untuk subsidi buyback. Bagaimana dengan Jepang? Perikanan Jepang sangat sarat subsidi. Wajar bila Jepang sangat lantang bersuara di WTO untuk menentang penghapusan subsidi perikanan.
Pola subsidi negara-negara berkembang hampir mirip dan mencakup hampir seluruh tipe subsidi yang diidentifikasi APEC. Namun, FAO sendiri mengakui bahwa studi tentang subsidi perikanan oleh dunia ketiga ini masih sangat langka. Yang jelas negara-negara sedang berkembang tentu akan keberatan dengan aneka pencabutan subsidi. Karena, dampaknya jelas bahwa akan menimbulkan problem lapangan kerja mengingat mayoritas pelaku usaha perikanannya tergolong kecil dan miskin. Karena itu, isu subsidi perikanan mestinya tidak hanya pasar dan sumber daya, tetapi juga soal lapangan kerja. Lihat saja, dengan pengurangan subsidi BBM, sudah terjadi masalah ketenagakerjaan di perikanan. Banyak nelayan menganggur karena tak bisa melaut.
Ketika memahami tiga isu pokok subsidi (pasar, sumber daya, dan lapangan kerja) secara komprehensif, persoalannya tidak bisa sesederhana hanya sekadar mencabut atau mempertahankan. Bahkan Marine Resources Assesment Group atau MRAG (2000) mengingatkan dunia internasional agar hati-hati dalam menilai bahwa masalah over-eksploitasi sumber daya ikan di negara sedang berkembang ini karena subsidi. Sebab hal tersebut bisa jadi karena lemahnya desain pengelolaan sumber daya perikanan (fisheries management) mengingat umumnya perikanan mereka relatif tidak diatur (unregulated). Karena itu, melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti skim kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja, memang subsidi tersebut mesti disertai dengan skema fisheries management yang memadai. Tidak sedikit ditemukan pemanfaatan dana kredit dari pemerintah yang digunakan membeli alat tangkap yang mengancam kelestarian sumber daya, atau tidak sesuai dengan kondisi stok ikan. Ini terjadi karena program ekonomi tidak match dengan program sumber daya.
Pada daerah yang sudah overfishing, misalnya, subsidi bisa diarahkan untuk pengembangan usaha budidaya atau pengolahan. Di sinilah pentingnya Fisheries Management Plan yang dibuat pemerintah pusat sebagai payung bagi daerah dalam membuat peta dan desain pengelolaan sumber daya. Demikianlah kompleksitas subsidi perikanan dengan iklim internasional saat ini.
Dalam isu subsidi ini, WTO lebih fokus pada kepentingan perdagangan dan pasar, tetapi tidak pada sumber daya. Subsidi dianggap tidak sesuai dengan mekanisme pasar sehingga bisa mengganggu perdagangan bebas. Adapun subsidi yang diusung kalangan pakar ekonomi perikanan dan juga APEC jauh lebih kompleks karena memasukkan kepentingan keberlanjutan sumber daya (resources sustainability).
Artinya, subsidi dianggap akan mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan. Namun, bagi negara-negara berkembang, subsidi sebenarnya masih sangat diperlukan dan itu berarti akan sangat keberatan apabila subsidi dicabut. Dampaknya akan jelas menimbulkan berbagai persoalan, di antaranya problem lapangan kerja. Mengingat mayoritas para pelaku usaha perikanan tergolong kecil dan miskin.
D. Analisis Dampak Beberapa Kelompok Subsidi Perikanan Terhadap Stok Sumberdaya
۞ Penetapan Harga Ikan (Price Control)
Subsidi berupa penetapan harga termasuk dalam kategori subsidi dukungan harga (price support), yakni suatu mekanisme yang dijalankan untuk dapat meningkatkan pendapatan di industri perikanan, dimana sebagian besar manfaatnya dialamatkan pada pemilik armada. Penetapan harga menggunakan mekanisme dan memberikan kompensasi ke industri perikanan, beberapa kompensasi dapat mereduksi harga pasar di bawah tingkat sasaran Di dalam teori ekonomi, subsidi melalui intervensi harga dapat menyebabkan peningkatan produksi ikan.
Effective Management
Pada sektor perikanan yang menggunakan hak pemilikan atau manajemen berbasis masyarakat dan sebuah sistem penangkapan yang efektif dan usaha yang terkontrol, dampak dari penepatan harga dalam usaha penangkapan tidak dapat diabaikan begitu saja jika armada perikanan dalam kondisi kelebihan modal atau dalam kondisi kapasitas penuh. Pemilik armada dapat mengurangi jumlah armadanya ke tingkat sebagaimana yang dibutuhkan untuk Jumlah Tangkapan yang dibolehkan (JTB/MEY) atau tetap menjaganya walaupun harga yang berlaku terlampau tinggi. Usaha penangkapan dapat dikendalikan untuk memastikan keberlanjutan sumberdaya di masa yang akan datang lewat penerapan sistem pengawasan dan pemantauan terhadap kuota-kuota hasil tangkapan.
Jika pengelolaan sumberdaya perikanan memiliki karakteristik manajamen seperti ini, tetapi kondisi armada yang ada di bawah kapasitas yang dibutuhkan dari JTB, maka dengan jalan penetapan harga ikan (price control) dapat diberikan insentif terhadap resiko kegiatan penangkapan pada level JTB. Namun bagaimanapun juga tidaklah mungkin dalam catch control dan pemilikan sumberdaya dapat menstabilkan kondisi perikanan yang tidak fully exploited.
Dibawah rezim manajemen efektif, kondisi sumberdaya baik yang over capacity, full capacity maupun less than full capacity tidak membahayakan. Sehingga keberlanjutan sumberdaya ikan dapat dipertahankan, tentu saja hal ini memiliki korelasi dengan tingkat pendapatan nelayan yang memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut.
Catch Control
Dalam perikanan tanpa adanya hak pemilikan sumberdaya secara individual, penetapan harga ikan akan merangsang peningkatan produksi. Walaupun secara teoritis, penerapan catch control dapat menghambat terjadinya peningkatan produksi, tetapi pada kenyataannya hambatan tersebut sangat terbatas. Seperti pada pembahasan awal tadi, pada level overkapasitas armada dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tanpa adanya hak kepemilikan, kuota penangkapan dan sistem monitoring serta pengawasan hanyalah merupakan pertahanan parsial dari dampak politis penetapan harga, termasuk di dalamnya adalah tingginya tingkat usaha dan penangkapan sumberdaya ikan.
Ketika usaha perikanan berada di atas tingkat sumberdaya dapat berkelanjutan secara biologi, tindakan untuk menetapkan harga dapat menyebabkan ancaman bahaya bagi stok ikan yang ada, ini sangat tergantung pada tingkat terjadinya penurunan biomassa.
Jika pemanfaatan sumberdaya perikanan berada di bawah tingkat sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan secara biologi, dampak dari penetapan harga ikan tidak akan membahayakan kondisi stok sumberdaya ikan yang ada, tetapi bisa menyebabkan terjadinya peningkatan penangkapan ikan dari yang sebelum diberlakukan subsidi penetapan harga ikan.
Dengan kondisi sumberdaya yang over capacity maupun full capacity di bawah rezim cacth controls, keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada dapat berbahaya. Dan kemungkinan berbahaya juga dialami ketika walaupun kondisi sumberdaya masih dibawah kapasitas pemanfaatan (less than full capacity).
Open Accsess
Dimulai dari adagium "the Freedom of the Sea" yang diinisiasi oleh Grotius (1609), rejim pemanfaatan sumberdaya laut dikenal sebagai rejim open acces di mana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam rejim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang.
Secara de facto penyebab overfishing adalah “rezim open access” yang berlaku di semua armada penangkapan ikan. Di mana pengelolaan sumber daya ikan tidak mengenal hak milik (rel nullius). Setiap individu memiliki hak istimewa dan hak yang berkenaan dengan penggunaan dan pemeliharaan sumber daya. Hal ini adalah suatu situasi dari perlakuan khusus timbal balik; tidak ada pengguna mempunyai hak untuk menghalangi penggunaan yang lain (Suhana, 2006).
Ketika sumber daya perikanan dalam kondis over eksploitasi, subsidi harga ikan akan mempengaruhi peningkatan usaha penangkapan. Peningkatan usaha penangkapan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kemerosotan persedian (stok) sumberdaya ikan. Inilah kondisi yang disebut sebagai kondisi pemanfaatan sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Kondisi seperti dalam jangka panjang dapat mempengaruhi pendapatan nelayan.
Pembangunan berkelanjutan sendiri didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987 dalam Dahuri dkk, 1996; Fauzi, 2006). Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) ekologis, (2) Sosial ekonomi budaya, (3) sosial politik, dan (4) hukum dan kelembagaan (Dahuri et al., 1996).
Penerapan subsidi berupa penetapan harga ikan dibawah rezim open accsess, kondisi sumberdaya ikan terancam keberlanjutannya, baik pada kondisi sumberdaya yang over capacity, full capacity maupun less than full capacity.
Secara ringkas, penjelasan di atas dapat dilihat pada Matriks Template berikut
Tabel 1. Matriks Template Dampak Subsidi Penetapan Harga Ikan (Price Control) Terhadap Status Stok Sumberdaya
Effective Management Catch Controls Open Access
Over – Capacity
Not harmful Harmful Harmful
Full Capacity
Not harmful Harmful Harmful
Less than Full Capacity Not harmful Possibly harmful Harmful
۞ Subsidi BBM bagi Nelayan
Dalam satu tahun terakhir ini, harga BBM mengalami fluktuasi yang sangat tajam. Hal ini dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga BBM yang pernah menembus harga diatas 100$US per barel telah membuat pemerintah menaikkan harga BBM. Demikian pula ketika terjadi penurunan harga BBM di akhir tahun 2008 ini, pemerintah akhirnya merevisi harga BBM yang disesuaikan dengan harga minyak mentah dunia.
Kenaikan harga BBM sangat mempengaruhi nelayan dalam usaha kegiatan penangkapan ikan. Sebab struktur biaya operasi kegiatan penangkapan ikan 50 persen diantaranya adalah BBM. Bahkan bagi nelayan kecil, biaya BBM bisa lebih dari 60 persen biaya operasional. Jadi, kenaikan harga BBM otomatis sangat berpengaruh terhadap biaya tetap kegiatan penangkapan ikan.
Dibanding dengan sopir angkutan misalnya, nelayan tidak bisa menekan pemerintah untuk menaikkan harga ikan, seperti sopir angkutan bisa menekan pemerintah untuk menaikkan tariff angkuntan.
Effective Management
Penggunaan subsidi bahan bakar minyak sangat mempengaruhi tingkat kapasitas penangkapan secara tidak langsung melalui peningkatan teknologi penangkapan. Pemilik kapal cenderung untuk menggunakan lebih mesin yang lebih kuat dan irit dalam menggunakan bahan bakar minyak (Beddington dan Rettig, 1984; McGoodwin, 1990). Selain itu juga penggunaan pendinginan di atas kapal harus lebih menguntungkan. Kedua efek dari subsidi bahan bakar tersebut memberikan peluang kepada pemilik kapal untuk memperluas daerah penangkapan dan waktu penangkapan yang kemungkinan besar dapat meningkatkan hasil tangkapan. Dampak subsidi bahan bakar minyak terhadap sumber-sumber daya ikan sangat mempengaruhi efek teknologi, manajemen dan parameter bio-economic dalam perikanan.
Subsidi bahan bakar minyak tidak harus meningkatkan usaha atau kapasitas penangkapan karena memerlukan biaya tambahan bagi setiap unit dalam meningkatkan kapasitas. penerima subsidi akan memilih untuk meminimumkan biaya dan peningkatan laba mereka dengan mempertahankan tingkat usaha yang telah ada.
Dibawah rezim manajemen efektif, kondisi sumberdaya yang over capacity, full capacity maupun less than full capacity tidaklah berbahaya.
Catch Controls
Efek dari subsidi biaya-biaya variabel seperti bahan bakar minyak, sangat mempengaruhi usaha penangkapan, dan dalam kasus subsidi bahan bakar, akan mendorong lebih besar penggunaan lebih banyak bahan bakar kapal nelayan secara intensife. Jika kapasitas armada lebih besar dari yang diperlukan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada tanpa memikirkan keberlanjutan dari sumberdaya tersebut, maka tunjangan bahan bakar minyak akan membawa satu resiko tinggi bagi penurunan persediaan ikan. Hal ini diesebabkan kondisi sumberdaya yang bersifat tidak adanya hak milik, manajemen komunitas mendasarkan atau cara-cara lain untuk insentif ekonomi dan penghapusan overfishing, sistem kontrol tangkapan yakni JTB, monitoring dan pengawasan, serta pembatasan wilayah terhadap usaha penangkapan, tidak mampu untuk mencegah pelanggaran yang telah dilakukan dalam kegiatan perikanan yang telah overexploited. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa sistem kontrol dan dampak akan lebih besar jika armada perikanan ditingkatkan atau overcapacity.
Walaupun diberlakukan pengontrolan dibawah rezim catch control, pada kenyataannya ketika kondisi sumberdaya dalam status over capacity, keberlanjutan sumberdaya berada dalam kondisi berbahaya. Sebab subsidi yang diberikan pada akhirnya memicu terjadinya peningkatan jumlah trip penangkapan dan peningkatan produksi. Dengan demikian, walaupun kondisi sumberdaya masih dalam full capacity maupun less than full capacity, kondisi sumberdaya berpeluang atau memiliki kemungkinan berbahaya karena adanya usaha peningkatan produksi tadi. Artinya, terjadi ancaman penurunan pendapatan pada masa yang akan datang.
Open Access
Dalam bidang perikanan, pemberian subsidi bagi kegiatan operasional, terutama pemberian subsidi BBM dapat meningkatkan kegiatan penangkapan ikan. Beberapa studi empiris. menunjukkan bahwa pengalihan teknologi menggunakan mesin-mesin dengan bahan bakar yang lebih banyak untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh. Hal ini memberikan peluang adanya pembukaan areal fishing ground baru bahkan dengan menggunakan purse seine. Serta meningkatkan hasil tangkapan.
Sehingga pada kondisi sumberdaya yang over capacity maupun full capacity, di bawah rezim open accsess, kondisi sumberdaya tersebut sangat berbahaya, dan berpeluang atau mungkin berbahaya walaupun kondisi sumberdaya perikanan yang ada masih dalam taraf less than full capacity.
Tabel 2. Matriks Template Dampak Subsidi BBM Bagi Nelayan Terhadap Status Stok Sumberdaya
Effective Management Catch Controls Open Access
Over – Capacity
Not harmful Harmful Harmful
Full Capacity
Not harmful Probably Harmful Harmful
Less than Full Capacity Not harmful Probably Harmful Probably Harmful
۞ Subsidi Pembangunan Pelabuhan Perikanan
Perusahaan perikanan umumnya sangat jarang membelanjakan modal usahanya untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan perikanan serta jasa-jasa pelayanan pada pelabuhan perikanan tersebut. Apalagi pembangunan sarana perikanan seperti pelabuhan perikanan tergolong tinggi. Namun argumentasi pada umumnya adalah bahwa pelabuhan perikanan merupakan bagian dari kebutuhan publik.
Untuk menganalisa dampak berupa subsidi pembangunan pelabuhan perikanan dalam konteks perbedaan beberapa manajemen dan parameter bio-ekonomi, suatu asumsi yang dibuat tentang berapa banyak industry perikanan membelanjakan modalnya untuk pembangunan pelabuhan perikanan pada Negara-negara yang tidak memberlakukan subsidi perikanan. Di Pilipina misalnya, sebuah studi yang menganalisis pelabuhan perikanan menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur perikanan menggambarkan kelebihan kapasitas bagi ikan-ikan yang didaratkan dan diproses pada pelabuhan-pelabuhan perikanan, sebagian disebabkan karena proyek-proyek seperti itu dibiayai dari transaksi politik, dan lainnya untuk mengantisipasi menurunnya hasil tangkapan ikan.
Di Jepang, kementrian yang menangani pertanian, kehutanan dan perikanan (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries/ MAFF), pada tahun 1994 malah mengumumkan rencana jangka panjang pembangunan pelabuhan perikanan dengan menyediakan dana sebesar 5 milyar US$ yang dimulai sejak tahun 1994 hingga 1999. Total nilai komersial produksi perikanan di jepang pada tahun 1996 diperkirakan 18 milyar US$.
Beberapa Negara yang relative ambisius dalam pembangunan program pelabuhan perikanan, meskipun biaya yang dikeluarkan sama sekali tidak merepresentasikan serta proporsional dengan nilai total kegiatan penangkapan adalah Indonesia.
Dampak dari subsidi perikanan berupa pembangunan pelabuhan perikanan sangat tergantung pada manajemen apa yang diterapkan serta kondisi bio-ekonomi dimana perusahaan perikanan beroperasi. Ini juga dipengaruhi oleh tipe indutri perikanan tersebut (perikanan pantai, wilayah pesisir atau laut dalam).
Effective Management
Sektor perikanan yang diatur dengan kuota perdagangan yang individual tidak memiliki alasan untuk memberikan subsidi pada industry perikanan dengan menyediakan pelabuhan perikanan secara gratis. Bagaimanapun juga, suatu Negara
Bagaimanapun, satu status bisa termotivasi untuk menyediakan pelabuhan-pelabuhan pemancingan atau proyek-proyek prasarana lain untuk satu memancing industri sebagai suatu bujukan/rangsangan untuk menerima satu sistem manajemen baru yang meliputi individu kuota-kuota dapat dioperkan. Sepanjang nelayan dijamin satu tangkapan total mengukur, mereka akan tidak punya perangsang untuk meningkat(kan usaha pemancingan. Sebagai ganti(nya), mereka akan mengambil keuntungan dari tunjangan sampai memancing prasarana untuk memperkecil biaya-biaya mereka dan meningkat(kan keuntungan mereka pada ada tingkat usaha (Arnason, 1999; Munro dan Sumaila, 1999; Hannesson, 2001). Yang sama berlaku untuk satu perikanan yang di bawah manajemen berbasis masyarakat.
Rezim manajemen efektif dengan kondisi sumberdaya (yang over capacity, full capacity, maupun less than full capacity), keberlanjutan sumberdaya perikanan dalam taraf aman atau tidak berbahaya. Artinya, dalam ini memiliki korelasi dengan tingkat pendapatan nelayan pada masa yang akan datang.
Catch Controls
Dengan diberikannya subsidi berupa pembangunan pelabuhan perikanan, maka industry-industri perikanan tidak lagi memikirkan untuk mengurangi ongkos operasional dalam usaha penangkapan yang dilakukan. Walaupun tetap dilakukan monitoring dan pengawasan, dengan adanya subsidi pembangunan pelabuhan perikanan dibawah rezim catch control, kondisi sumberdaya yang over capacity dan full capacity terancam bahaya tingkat keberlanjutannya. Namun kondisi keberlanjutan sumberdaya yang ada tidak berbahaya jika kondisi sumberdaya tersebut masih dibawah kapasitas (less than full capacity). Dengan demikian, hanya pada kondisi sumberdaya yang less than capacity tingkat pendapatan nelayan di masa mendatang masih dapat dipertahankan.
Open Access
Di bawah rezim open accsess, kondisi sumberdaya yang over capacity dan full capacity terancam bahaya dan keberlanjutannya. Sehingga pendapatan nelayan di masa yang akan datang juga terancam. Hal ini seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perusahan perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan tidak lagi dipusingkan untuk mengeluarkan modal usahannya untuk membangun sarana perikanan yang membutuhkan modal besar. Sehingga konsentrasi modal hanya diarahkan pada usaha-usaha penangkapan semata.
Tetapi pada kondisi sumberdaya yang belum termanfaatkan secara optimal atau less than full capacity, kondisi sumberdaya yang ada tidak berbahaya. Hal ini karena stok sumberdaya yang ada masih berlimpah.
Tabel 3. Matriks Template Dampak Subsidi Pembangunan Pelabuhan Perikanan Terhadap Status Stok Sumberdaya
Effective Management Catch Controls Open Access
Over – Capacity
Not harmfull Harmfull Harmfull
Full Capacity
Not harmfull Harmfull Harmfull
Less than Full Capacity Not harmfull Not harmfull Not harmfull
۞ Subsidi Pembangunan Pasar Ikan Higienis
Dalam rangka peningkatan gizi masyarakat Indonesia serta peningkatan pemasaran ikan di dalam negeri diperlukan adanya peningkatan minat untuk mengkonsumsi ikan. Untuk itu upaya perbaikan dan pembangunan Pasar Ikan Higienis (PIH) diharapkan dapat menyediakan produk berkualitas.
Kondisi pasar yang diinginkan masyarakat adalah yang dapat menjamin kenyamanan, kebersihan dan keamanan serta mudah dijangkau. Dengan demikian masyarakat dapat membeli ikan dengan kualitas dan harga yang sesuai secara mudah.
Adanya PIH diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan petani ikan serta pedagang kecil, bagi konsumen tersedianya ikan dengan jumlah dan kualitas serta harga yang terjangkau dan bagi pemerintah dapat mewujudkan upaya peningkatan konsumsi ikan sebesar 25 kg/kapita/tahun pada tahun 2005.
Pasar Ikan Higienis diharapkan dapat menciptakan kondisi pasar yang nyaman serta memenuhi persyaratan higienis sehingga dapat menjadi momentum kebangkitan hasil laut dan ikan di pasar global.
Manfaat dan tujuan dari pembangunan pasar ikan higienis pada umumnya adalah untuk bengubah image masyarakat terhadap pasar ikan yang selama ini terkesan kotor, becek dan berbau tidak sedap menjadi pasar yang bersih dan memenuhi persayaratan sanitasi dan higienis; Sebagai tempat belanja ikan yang nyaman dan higienis sesuai dengan standar HACCP dan penerapan SSOP; Mempertahankan kualitas ikan dan meningkatkan nilai jual serta profit margin yang proporsional bagi nelayan/pembudidaya ikan; Meningkatkan minat masyarakat untuk berbelanja dan mengkonsumsi ikan sehingga dapat meningkatkan pemasaran ikan dalam negeri; Meningkatnya produk perikanan yang memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis sehingga sesuai dengan standar ekspor; Meningkatkan nilai tambah dalam pemanfataan sumberdaya perikanan; Meningkatkan pemasaran bagi nelayan pembudidaya ikan dan pedagang ikan; Mengembangkan pusat informasi dan promosi keragaan potensi perikanan nasional.
Effective Management
Pada rezim efektif manajemen pada tingkat kelebihan kapasitas dan kapasitas penuh, tidak berbahaya. Artinya bahwa efektif manajemen secara ilmiah mendasarkan seluruh upaya pada berbagai kombinasi tangkapan dan kontrol usaha, pengawasan yang memadai dan insentif sosial-ekonomi untuk penangkapan berkelanjutan, sehingga dapat mencegah tekanan terhadap stok sumberdaya ikan, untuk itu subsidi yang diberikan dalam pembangunan pasar ikan higienis tidak menjadi masalah. Sedangkan pada tingkat kapasitas kurang, efektif manajemen tidak berlaku atau belum terlalu penting untuk diatur. Artinya bahwa pada tingkat kapasitas yang masih kurang, dapat dipergunakan sarana atau fasilitas apa saja yang dapat dipakai untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan, karena stok sumberdaya ikan masih banyak dan masih terbuka lebar untuk kegiatan eksploitasi.
Seperti halnya pembangunan pelabuhan perikanan, di bawah rezim ini, pada kondisi sumberdaya seperti apapun (over capacity, full capacity, dan less than full capacity), kondisi keberlanjutan sumberdaya tidak berbahaya.
Catch Controls
Dibawah rezim kontrol tangkapan pada tingkat kelebihan kapasitas dan kapasitas penuh tidak berbahaya. Artinya bahwa menggunakan berbagai kontrol untuk tingkat penangkapan, kontrol usaha penangkapan yang dilakukan dan input kontrol. Kontrol tangkapan meliputi (a) Quota seperti : dapat dipindahkan dan tidak bisa dipindahkan, total hasil tangkapan, Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (b) Ukuran yang diperbolehkan dan (c) Komposisi (campuran) ikan yang diperbolehkan. Dengan demikian, subsidi yang diberikan untuk pembangunan pasar ikan higienis tidak menjadi masalah. Sedangkan kontrol tangkapan pada tingkat sumberdaya yang kapasitas penangkapannya masih kurang, maka tidak ada masalah (tidak perlu dilakukan kontrol penangkapan).
Dengan kondisi sumberdaya yang over capacity dan full capacity, keberlanjutan sumberdaya perikanan di bawah rezim ini terancam bahaya. Namun tidak demikian pada kondisi sumberdaya yang masih dibawah kapasitas (less than full capacity).
Open Access
Dibawah rezim akses terbuka pada tingkat kelebihan kapasitas akan berbahaya. Artinya bahwa dengan kegiatan penangkapan yang bersifat akses terbuka sehingga memberi peluang kepada siapa saja untuk masuk melakukan kegiatan penangkapan dan ini sangat berbahaya bagi keberlanjutan stok sumberdaya ikan. Dengan demikian, subsidi tidak boleh diberikan pada kondisi yang demikian, karena akan meningkatkan upaya penangkapan. Sedangkan untuk akses terbuka pada tingkat kapasitas penuh, mungkin saja berbahaya. Artinya bahwa pada tingkat ini, pemberian subsidi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan perlu pengkajian yang mendalam. Hal ini disebabkan karena dengan pemberian subsidi untuk pembangunan pasar ikan higienis, maka dapat menjadi faktor pendorong bagi nelayan untuk semakin meningkatkan upaya penangkapan dan pada akrinya kondisi ini akan berdampak pada kapasitas penuh atau akan berlanjut pada kelebihan kapasitas sehingga stok sumberdaya tidak dapat berkelanjutan. Sementara itu, untuk akses terbuka pada tingkat kapasitas yang masih kurang (masih tersedia stok sumberdaya) subsidi masih diperlukan karena tidak berdampak negatif terhadap stok sumberdaya ikan dan untuk kepentingan pemberdayaan nelayan dan masyarakat.
Seperti halnya pada rezim open access, kondisi sumberdaya yang over capacity dan full capacity, kondisi keberlanjutan sumberdaya terancam bahaya. Tetapi tidak demikian jika kondisi sumberdayanya masih dalam taraf less than full capacity.
Matriks atas penjelasan di atas adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Matriks Template Dampak Subsidi Pembangunan Pasar Ikan Higienis Terhadap Status Stok Sumberdaya
Effective Management Catch Controls Open Access
Over – Capacity
Not harmfull Harmfull Harmfull
Full Capacity
Not harmfull Harmfull Harmfull
Less than Full Capacity Not harmfull Not harmfull Not harmfull
E. Kesimpulan
Stastus stok sumberdaya perikanan, apakah berbahaya (harmfull), kemungkinan berbahaya (Probably Harmful), atau tidak berbahaya (Not harmfull), memiliki korelasi erat dengan pola pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri, yakni apakah dilakukan dibawah rezim manajemen efektif, catcth control atau rezim open access. Status stok sumberdaya akan sangat aman atau tidak berbahaya jika dikelola dibawah rezim manajemen efektif.
Pemberian subsidi perikanan ternyata memberikan dampak negative terhadap status stok sumberdaya, terlebih jika model pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut di bawah rezim open access.
Referensi :
Cholik, F., Ateng G.J., R.P. Poernomo, dan Ahmad J. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan. Diterbitkan atas kerjasama Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) dengan Taman Akuarium Air Tawar TMII, Jakarta
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Ditjen Perikanan Tangkap. 2005. Kemiskinan Nelayan : Permasalahan dan Upaya Penanggulangan. http://www.dkp.go.id (Akses tanggal 29 Maret 2008 jam 23.00 WIT)
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan : Isu, Sintesis, dan Gagasan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fauzi, A dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jamil, K. 2005. Kajian Kesesuaian Lahan dan Kelayakan Ekonomis Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Tesis Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor.
Martin, K. St. 2004. GIS in Marine Fisheries Science and Decision-Making. in Geographic Information Systems in Fisheries, W. L. Fisher and F. J. Rahel eds. (American Fisheries Society), pp. 237-258. http://www.fisheries.org [Akses tanggal 20 Mei 2008 jam 13.00 WIT]
Mulyadi S., 2007. Ekonomi Kelautan. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Penerbit Alfabeta, Bandung.
Romimohtarto, K., dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Warta Pasar Ikan. 2006. Budidaya Ikan Harapan Masa Depan. http://www.dkp.go.id [Akses tanggal 29 Maret 2008 jam 23.00 WIT]
Hasil penelitian yang menarik untuk dibaca, jika berminat Jurnal Depik bersedia untuk mempublikasikan hasil penelitian ini agar lebih banyak lagi dibaca oleh para ilmuan dan mhs, silahkan lihat panduannya www.depikjurnal.unsyiah.ac.id
BalasHapusSemoga sukses.
Muchlisin (muchlisinza@yahoo.com
bang hasil penelitiannya bagus bangat dibaca...
BalasHapuskalau tidak keberatan saya pinjam linknya yah