Perbedaan-perbedaan pandangan ketiga teori tersebut diuraikan sebagai berikut :
- Teori fungsionalisme strukturalisme
Dalam perspektif fungsionalisme strukturalisme, masyarakat dipandang sebagai organisme biologis. Pandangan seperti ini melahirkan anggapan bahwa pada dasarnya masyarakat terintegrasi di atas dasar kata sepakat pada anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Oleh karena itu, teori fungsionalisme strukturalisme memandang masyarakat secara statis. Perilaku orang-orang (persons) menurut teori ini selalu dijelaskan melalui peran-peran mereka, dan hak serta kewajiban merupakan hasil dari posisi-posisi formal yang mereka duduki di dalam berbagai pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dan, kontribusi pranata-pranata tersebut adalah dalam memelihara atau menjaga struktur sosial dalam suatu bentuk keseimbangan (equilibrium). Karena sifatnya yang demikian maka aliran pemikiran ini disebut juga sebagai equilibrium approach (equilibrium theory) atau integration approach (integration theories).
Teori fungsionalisme strukturalisme dibangun atas sejumlah asumsi sebagai berikut :
1) Masyarakat harus dilihat sebagai satu sistem dari pada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2) Adanya hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut bersifat ganda dan timbal balik.
3) Sekalipun integrasi sosial tidak dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah ekulibrium yang bersifat dinamis : menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar.
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan (akibat pengaruh dari luar) senantiasa terjadi juga, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Atau dengan kata lain sekalipun integrasi sosial pada tingkat yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
5) Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner. Perubahan yang drastis sifatnya pada umumnya pada bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
6) Biasanya perubahan sosial terjadi melalui tiga macam kemungkinan : (1) penyesuaian-penyesuain yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan dari luar; (2) pertumbuhan melalui proses diferensiasi structural dan fungsional; (3) penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan satu sistem sosial adalah consensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu dan diyakini kebenaranya. Sistem nilai tersebut tidak hanya merupakan sumber berkembangnya integrasi sosial tetapi sekaligus juga merupakan unsure yang menstabilkan sistem sosial itu sendiri.
Struktural fungsionalisme memandang masyarakat sebagai satu sistem dari struktur-struktur sosial. Oleh karena sifatnya yang menjaga keseimbangan dalam struktur sosial masyarakat, maka konflik selalu dipandang sebagai sebagai suatu yang disfungsional bila mengakibatkan perubahan terhadap struktur sosial yang ada. Struktur sosial disini diartikan sebagai suatu pola yang bertahan relatif lama dari rangkaian hubungan-hubungan sosial dimana di dalamnya terdapat “aturan” yang membuat masyarakat menjadi “teratur”. Dan konflik akan dipandang fungsional bila membantu melindungi status quo. Berdasarkan hal ini, perubahan selalu dianggap datang dari luar, dan selalu pula dianggap menyinggung atau mengganggu keseimbangan sistem yang ada sehingga perubahan juga dianggap seagai sesuatu yang disfungsional. Oleh karena itu pula, maka perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma umum dianggap deviant dan ditanggapi secara reaksioner.
Teori fungsionalisme stukturalisme yang menganggap masyarakat sebagai organism biologis ternyata dianggap kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan kemasyarakat karena mengabaikan kenyataan-kenyataan berikut :
1) Setiap struktur sosial di dalam dirinya sendiri mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial;
2) Reaksi dari satu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tidak selalu bersifat adjustive.
3) Satu sistem sosial, dalam jangka waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik yang bersifat lingkaran ganas (vicious circle).
4) Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
- Teori konflik
Telah disampaikan bahwa pendekatan teori fungsionalisme strukturalisme bersifat statis serta menolak perubahan-perubahan dengan cara mempertahankan status quo maupun reaksioner. Padahal, setiap situasi sosial menurut David Lockwood mengandung dua hal, yakni : tata tertib sosial yang bersifat normative, dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik merupakan kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial. Tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama tidak berarti dapat melenyapkan konflik. Sebaliknya, tata tertib sosial justru mencerminkan adanya konflik di dalam masyarakat. Olenya itu, apabila berbicara tentang stabilitas dan instabilitas dalam sistem sosial, maka yang dimaksudkan sesungguhnya tidak lebih dari pada menyatakan derajat keberhasilan atau kegagalan dari tata tertib normative di dalam mengatur kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
Konflik diyakini merupakan fakta utama dalam masyarakat. Konflik lebih banyak dipahami sebagai keadaan tidak berfungsinya, komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Tetapi, secara empiris konflik tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakikat masyarakat.
Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif. Salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Dari sudut pandang ini, konflik sosial mempunyai fungsi katarsis. Karena konflik mempunyai dampak yang menyegarkan pada system sosial. Konflik memang tidak mengubah sistem sosial itu sendiri, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan dalam sistem, dan konsekuensinya sistem itu bisa lebih efektif.
Dalam khasanah pemikiran Yunani kuno, para pemikir sejak dari Heraklitus sampai kaum sophist mengemukakan konflik sebagai suatu hal yang utama. Bahkan konflik dianggap sebagai fakta sosial yang mendasar. Pengembangan teori konflik pada zaman purba dilakukan Polybius. Namun perkembangan teori konflik berlaku bagi siapa saja yang memiliki fakta mendasar tentang evolusi lembaga politik. Pada faktanya, konflik digambarkan sebagai suatu bentuk sistem kekuatan yang stabil. Dan konsepsi konflik menurut kaum Sophist ini ditransmisikan secara langsung dari konsep struktur terkecil kepada konsepsi perubahan internal. Artinya, pergerakan dari zaman primitive ke zaman peradaban modern. Proses tersebut terjadi atas dasar perjuangan secara alami. Perjuangan tersebut tidak terlepas dari perjuangan antar umat manusia.
Teori konflik yang berawal dari ideologi ditegaskan sebagai kumpulan ide untuk memajukan gerakan-gerakan sosial atau untuk mempertahankan institusi sosial. Ideologi lebih merupakan sistem yang menjadi pedoman praktis daripada sebuah promoter dari tujuan-tujuan yang sudah dipahami.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok.
Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah:
a. Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
b. Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
c. Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
d. Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
e. Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
f. Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Konflik sosial dapat dikendalikan dengan tiga cara, yakni konsiliasi, mediasi dan perwasitan.
v Konsiliasi (conciliation)
Adalah bentuk pengendalian konflik yang paling penting. Pengendalian semacam ini tumbuh melalui lembaga-lembaga tertentu (DPR, LMD) yang memungkinkan tumbuhnya diskusi-diskusi dan pengambilan keputusan diantara yang berlawanan (wakil-wakilnya) tentang persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
Lembaga-lembaga yang melakukan konsiliasi akan dapat berfungsi secara efektif jika memenuhi sedikitnya empat hal berikut :
1) Lembaga-lembaga itu harus bersifat otonom dengan wewenang mengambil keputusan tanpa campur tangan badan-badan lain di luarnya;
2) Kedudukan lembaga tersebut dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolistis (hanya lembaga itu yang berfungsi demikian)
3) Peranan lembaga-lembaga harus sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan merasa terikat kepada lembaga-lembaga tersebut sehingga keputusan-keputusannya mengikat anggotanya.
4) Lembaga-lembaga tersebut harus bersifat demokratis, bebas mengemukakan pendapat dan didengar
Keempat hal sebagaimana disebutkan tersebut hanya mungkin diselenggarakan jika:
1) Masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya konflik diantara mereka, karena itu perlu dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua.
2) Pengendalian konflik-konflik hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3) Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus memenuhi aturan-aturan permainan tertentu yang disepakati sehingga tercipta satu pola hubungan sosial tertentu. Ini memungkinkan tiap kelompok dapat meramal tindakan-tindakan yang akan diambil kelompok lain serta menghindari munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Tanpa keempat hal tersebut, maka lembaga-lembaga macam apapun tidak akan dapat berfungsi dengan baik.
v Mediasi (mediation)
Yaitu cara pengendalian sosial yang diterapkan apabila kedua pihak yang bertentangan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi dan tidak menghendaki timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan.
Mediasi yaitu kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan.
v Perwasitan (arbitration)
Merupakan sebuah pengendalian sosial yang perlu dilakukan apabila mediasi tidak tercapai. Perwasitan terjadi apabila kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik.
Satu perwasitan menempatkan kedua belah pihak pada kedudukan harus menerima keputusan-keputusan yang diambil wasit.
- Teori jaringan
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan dunia yang semakin kompleks serta makin berkurangnya masyarakat primitif secara signifikan menyebabkan terjadi stagnasi teori-teori antropologi. Pendekatan teori fungsionalisme strukturalisme tidak mampu memahami masyarakat-masyarakat kompleks di mana perubahan-perubahan terjadi begitu cepat—seperti masyarakat perkotaan tersebut. Karena konsep perubahan itu sendiri kontradiktif dengan asumsi dasar teori strukturalisme fungsionalisme.
Kontak dan komunikasi antar masyarakat dan kebudayaan semakin intensif sebagai akibat semakin dekatnya jarak fisik dan sosial aneka ragam masyarakat dan kebudayaan tersebut. Selain itu, terjadi perubahan basis hubungan dalam masyarakat dari basis keturunan dan kekerabatan menjadi hubungan non-kekerabatan dan non-keturunan (konsep pertemanan, pertetanggaan, afiliasi agama atau partai politik dan sebagainya) menjadi semakin penting.
Hal ini kemudian mendasari para antropologi sosial mempelajari model-model baru untuk membantu memahami fenomena-fenomena urban. Dari sinilah mulai dikembangkan teori jaringan. Lewat pengamatan fenomena-fenomena urban tersebut, para antropologi sosial merasakan pentingnya mempelajari hubungan personal untuk dapat memahami perilaku masyarakat perkotaan.
Prinsip-prinsip mendasar dari sebuah jaringan adalah :
1) Ada pola tertentu. Sesuatu yang mengalir dari titik yang satu ke titik-titik lainnya, saluran atau jalur yang harus dilewati tidak terjadi secara acak, artinya bisa memilih sekehendaknya (secara acak)
2) Rangkaian “ikatan-ikatan” itu menyebabkan sekumpulan titik-titik yang ada bisa dikategorikan atau digolongkan sebagai “satu kesatuan” yang berbeda dengan “satu kesatuan” yang lain
3) Ikatan-ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik-titik lainnya harus bersifat relatif permanen (ada unsur waktu, yaitu masalah “durasi”).
4) Ada ‘hukum’ yang mengatur saling keterhubungan masing-masing titik di dalam jaringan, ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing titik (anggota), hubungan titik yang satu terhadap titik-titik yang lain, hubungan semua titik dengan titik-titik pusat dan sebagainya.
Sementara jaringan yang berkaitan dengan masyarakat merupakan jaringan tipe khusus, dimana ‘ikatan’ yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial—yang menurut Van Zanden diartikan sebagai interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau permanen) yang akhirnya satu sama lain terikat dengan atau oleh seperangkat harapan yang relatif stabil. Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan orang lain dimanan melalui saluran tersebut dapat dialurkan sesuatu, misalnya : barang, jasa dan informasi. Hubungan sosial antara dua orang mencerminkan adanya pengharapan peran dari masing-masing lawan interaksinya. Tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu sistematik meskipun para pelaku belum tentu menyadarinya—oleh karena itu jaringan sosial berbeda dengan kelompok karena keanggotaan jaringan sosial sering kali tidak disadari atau belum disadari oleh yang bersangkutan. Sementara yang dimaksud sebagai interaksi sosial menurut Levi Strauss yaitu tingkah laku yang sistematik terwujud antara dua orang atau lebih yang akhirnya menghasilkan hubungan sosial.
Hubungan-hubungan sosial tidak terjadi atau terbentuk secara acak (random) melainkan menunjukkan adanya satu keteraturan. Epstein dan Mitchell menyatakan ada tiga tipe keteraturan, yaitu : (1) Keteraturan struktural, dimana perilaku orang-orang diinterpretasikan dalam term tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam satu perangkat tatanan posisi (seperti dalam sebuah pabrik, keluarga, asosiasi sukarela, dan lain sebagainya); (2) Keteraturan kategorikal, dimana perilaku seseorang di dalam situasi-situasi yang tidak terstruktur bisa diinterpretasikan ke dalam term stereotype-stereotype seperti kelas, rasa tau suku dan lainsebagainya; (3) Keteraturan personal, dimana perilaku orang-orang, baik dalam situasi yang terstruktur maupun tidak, bisa diinterpretasikan di dalam pengertian ikatan-ikatan personal yang dimiliki seorang individu dengan orang lain.
Kembali ke permasalahan jaringan sosial. Yang menjadi anggota dalam jaringan sosial tentu saja adalah manusia. Dan ini tidaklah berarti hanya manusia sebagai individu, tetapi juga berupa sekumpulan manusia (misalnya organisasi, instansi, pemerintah atau negara) yang mewakili titik-titik tertentu.
Jaringan sosial menawarkan suatu pendekatan baru untuk mengatasi atau memahami masalah-masalah kompleksitas perilaku dan struktur dengan level-level abstaksi analisis yang berbeda-beda, tetapi terintegrasi satu sama lainnya. Pertama, jaringan sosial yang terjadi di satu sisi menciptakan struktur sosial, sementara di sisi lain struktur sosial yang diciptakan tersebut membatasi atau memberikan ketidakleluasan terhadap tindakan, baik tindakan individual maupun kolektif para individu yang terlibat di dalam saling keterhubungan. Kedua, sikap dan perilaku individu ditentukan oleh konteks-konteks sosial dimana tindakan itu diwujudkan.
Dalam realitas kehidupan, jaringan-jaringan sosial dalam sistem sosial masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sangat kompleks dan saling tumpah tindih sehingga untuk kepentingan analisis perlu dibedakan antara :
1) Jaringan total untuk memahami jaringan yang kompleks yang memuat informasi tentang seluruh kehidupan satu komuniti
2) Jaringan partial yaitu jaringan yang berisi hanya satu jenis hubungan sosial.
Jaringan-jaringan sosial dilihat dilihat dari tujuan hubungan sosial adalah :
1) Jaringan interest (jaringan kepentingan) dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Dasar hubungan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus dan untuk itu bisa terjadi manipulasi hubungan sosial
2) Jaringan sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi. Struktur sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan emosi ini cenderung lebih mantap atau permanen (pertemanan, percintaan, kerabatan dan sebagainya).
3) Jaringan power, dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan keterhubungan antar pelaku dibuat permanen. Keterhubungan antar pelaku di dalamnya disengaja atau diatur.
Seiring perkembangan teknologi, utamanya internet, jaringan sosial berkembang mengadaptasikan perkembangan teknologi ini. Ini memungkinkan orang (person atau organisasi) saling berinteraksi bahkan tanpa saling mengenal secara langsung. Situs-situs web yang turut jaringan sosial yang paling terkenal saat ini misalnya, www.friendster.com.
Ringkasan perbedaan antara teori structural fungsionalisme, teori konflik dan teori jaringan sosial pada masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut.
Teori Fungsionalisme Strukturalisme | Teori Konflik | Teori Jaringan Sosial |
Masyarakat dipandang sebagai organisme biologis yang statis dan saling berhubungan dalam satu sistem sosial | Tata tertib sosial dan konflik merupakan kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial | Masyarakat (individu maupun organisasi) perkotaan memiliki hubungan sosial |
Cenderung menjaga keseimbangan (equilibrium) struktur sosial serta pro terhadap status quo (bersifat reaksioner terhadap perubahan) | Konflik memiliki dapat yang menyegarkan sistem sosial | |
Memandang konflik sebagai sesuatu yang disfungsional | Konflik merupakan fakta dalam masyarakat | |
Teori ini tidak mampu menganalisis masyarakat perkotaan yang kompleks | | Teori ini mampu menjawab perkembangan masyarakat yang makin kompleks |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar